Cold Wind Blows

Syuuuuu….. Syuuuuu….. Syuuuuuuu……

Wow! Sudah dua hari ini Jakarta diterpa angin kencang, sejuk, dingin, nan mengerikan. Mengerikan? Ya. Saking kencangnya, angin itu seakan-akan bisa menampar, menghempas, menderak, selain menghembus lembut untuk menidurkan orang-orang yang lelah kerja seharian dan membutuhkan sedikit pengalih dari hari-hari mereka yang membuat stress.

Namun, kali ini angin berperan lain. Selain untuk menyejukkan dan meninabobokan, angin berusaha memainkan peran antagonis. Dia mencoba menakut-nakuti kita dengan hempasannya yang luar biasa, hingga daun-daun beterbangan masuk ke dalam rumah melalui pintu-pintu dan jendela-jendela yang terbuka, menyibakkan daun-daun di pepohonan hingga bergemirisik, membuat burung-burung takut terbang, menimbulkan kekhawatiran bagi manusia karena hembusannya yang tidak biasa : mungkinkah angin kencang ini pertanda akan ada badai besar? Atau mungkin saja, ini pertanda baik bagi sebagian manusia karena kenikmatan hembusan angin dianggap sebagai salah satu pertanda kita akan kejatuhan durian runtuh atau semacamnya.

Aku justru khawatir karena hembusan angin yang tidak biasa ini. Sangat kencang, kuat, hingga menimbulkan suara-suara ribut pada pelapis pagar di teras yang sudah rusak. Kakakku mengeluh karena harus menyapu berkali-kali dedaunan yang datang tanpa diundang di lantai dua. Yaaa… di lantai satu juga, sih.

Dua kucingku yang penakut, Mozart dan Beethoven, mengikutiku ke kamar di lantai dua seakan minta perlindungan dariku. Beethoven tidur di kamarku, sementara Mozart mencari tempat lain yang jauh dari derak-derak beda yang tertiup angin.

Saat aku ber-pilates ria siang ini, –butuh waktu lama untuk menghilangkan kebiasaan bermalas-malasan di pagi hari– aku tersadar bahwa aku sudah tidak berolahraga selama hampir setengah tahun. Sejak sekolah menyita sebagian besar waktuku untuk ujian nasional, pemerintah merampas waktu santaiku dengan SNMPTN, dan ujian-ujian lainnya demi masuk universitas negeri, dan sekarang waktu kuliahku membuatku bermalas-malasan setiap hari. Lebih suka tidur-tiduran daripada mengerjakan tugas karena selama seminggu tenagaku terkuras untuk menempuh perjalanan ke kampus yang cukup jauh dari rumah. Dampak buruk lanjutannya, aku sering menyepelekan tugas dan menunda-nunda penyelesaiannya. Dan itu…. tidak baik, saudara-saudara.

Lantas, aku teringat kata-kata guru gitarku hari Minggu lalu ketika, seperti biasa, beliau mengajarku dengan nada datar nan sopan, tapi aku tahu beliau cukup tidak sabar…. atau…. aku yang tidak sabar.

Aku mendaftar lagi di tempat kursus musikku setelah aku vakum selama kurang lebih enam bulan demi menyelesaikan ujian seleksi masuk universitasku. Sayangnya, aku gagal masuk Universitas Indonesia dan akhirnya….. Ah, sudahlah. Bukan itu yang mau kubahas. Yang aku ingin tulis adalah aku ingat guru gitarku, Pak Wisnu, memberiku nasihat yang sama setiap kali permainanku terdengar buruk di telinganya. Biasanya, dia akan menasihatiku jika aku bermain dengan tergesa-gesa,

Untuk pertama kalinya, dia terlihat seperti menahan sesuatu, sesuatu yang sudah lama ingin dikatakannya. Inilah yang dikatakannya padaku pada pertemuan pertama (kembali) kami:

“Ada sebuah filosofi yang mengatakan, biar lambat asal selamat. Sekarang, Bapak beri contoh. Ada satu kelas yang sedang melaksanakan ujian, dilaksanakan oleh murid-murid yang cara belajarnya macam-macam yang tentu berdampak pada cara mereka menyelesaikan ujian. Ada yang menyelesaikan ujiannya dengan cepat, dan ada juga yang menyelesaikannya hingga melewati batas waktu. Namun, ada satu poin penting ketika mereka menyelesaikan ujian, mereka sama-sama selesai. Tidak peduli seberapa cepat atau seberapa lambat mereka. Asal mereka yakin sudah menyelesaikannya dengan benar, hasil akhirnya toh tetap sama. Sama-sama selesai dan sama-sama dapat nilai, meskipun angkanya tidak sama. Begitu juga dengan belajar musik, Yuri. Tidak bisa buru-buru. Kau harus sabar dalam mempelajarinya. Tidak bisa kau kuasai dalam satu malam, satu minggu, satu bulan… Butuh waktu hingga kau benar-benar menguasainya. Ada banyak nada, teknik, dan petikan yang harus kau pelajari. Yang penting adalah hasil akhirnya, Pada akhirnya, kau akan bisa memainkannya dengan baik, asal kau mau bersabar.”

Beliau benar, aku memang kurang sabar. Aku akui itu. Di dalam dadaku, aku dikuasai rasa buru-buru, ketergesaan yang juga kukhawatirkan malah akan jadi sia-sia. Ketika aku memegang gitar, rasa cintaku tercurah semua pada benda manis yang terbuat dari kayu dan dipasangi enam senar itu. Seketika, aku dikuasai obsesiku untuk menjadi gitaris. Saat aku memegang gitar, aku adalah Yuri yang belajar. Ketika aku mulai memetiknya, aku merasa sebagai partner nyanyi Taylor Swift di atas panggung.

Ya, Taylor Swift adalah inspirasi bermusikku. Sayang, aku mengambil jalur klasik, sementara Nn. Swift mengambil jalur country, berakar dari musik kota kelahirannya, Tennessee. Akan sangat indah jika kami akhirnya bisa bermain gitar bersama, bernyanyi bersama, hingga berkarya bersama. Menciptakan lagu tentang cerita kita, membiarkan penduduk dunia mendengar dan merasa terinspirasi olehnya. Hari itu terasa jauh ketika aku ingat kalau aku baru saja belajar. Aku baru memulainya. Namun, seakan impian itu terasa sudah nyata, sudah ada di tanganku, aku pun melupakan prosesya. Hingga aku mendapatkan teguran itu.

Mungkin, itulah yang membuatku sulit mendapatkan apa yang kumau. Aku terlalu berfokus pada hasil akhir, terlalu menginginkan hasilnya, tapi tidak ingin terlalu lama pada prosesnya. Aku tidak ingin terlalu tenggelam.

Namun, Alhamdulillah, akhirnya aku sadar. Kekuatanku sendiri memang tidak cukup untuk menggapai mimpi-mimpiku yang banyak dan terasa mustahil dilakukan. Dukungan orang-orang terkasih, bimbingan guru-guru, dan petunjuk dan pertolongan Tuhan adalah faktor-faktor penentu utama dalam kesuksesan. Kesabaran, keuletan, kedisplinan, dan kegigihan adalah kunci-kunci pendukung yang juga tidak bisa diremehkan.

Pemalas yang memiliki segudang mimpi, itulah aku. Usahaku memang belum cukup bahkan untuk mencapai titik tertentu dimana aku bisa mencium kesuksesan awalku.

Ya, untuk menjadi seseorang yang bertangan dingin –sebutlah profesional, pertama-tama kau harus mendinginkan hati dan pikiranmu dulu dan lakukan semuanya dengan tenang. Bayangkan angin dingin menerpamu tapi kamu harus terus berjuang untuk mendapatkan semangkuk sup untuk menghangat badan, entah dimana kamu bisa mendapatkannya.

 

Berjuang bersamamu,

Yuri

About Ayuri

A not-so-elegant, classic girl, who loves writing, reading, dreaming (unlike daydreaming coz it's not good for me), and debating with my brother. I think I can see this world better if I ever experience something somewhere. By my own.
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment